Thursday, January 15, 2009

FANA

Adanya langkah pelampauan sampai pada satu titik dimana tauhid (penyatuan) bisa dicapai, terungkap dalam pernyataan Nabi Ibrahim as. di dalam surat Al Anam yang secara metaforis diungkapkan dalam bentuk bintang, bulan, dan matahari.

Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi, dan supaya ia termasuk orang-orang yang yakin.

Maka tatkala malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) ia berkata, Inilah Tuhanku. Maka tatkala bintang itu hilang dia berkata, Aku tidak suka kepada yang hilang.

Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata, Inilah Tuhanku. Maka tatkala bulan itu terbenam dia berkata, Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberikan petunjuk kepadaku niscaya aku termasuk kaum yang sesat.

Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar! Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata, Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. ( Surah Al-Anam [6] : 75-78 )

Bintang metafora pertama- melambangkan petunjuk atau cahaya indera seseorang yang mencari ilmu atau pengetahuan tentang kebenaran melalui sarana indera. Dahulu para pelaut menjadikan bintang-bintang di langit sebagai petunjuk arah ketika mereka berlayar. Bintang tak ubahnya seperti cahaya panca indera dalam diri manusia. Namun dengan cahaya indera ini seseorang takkan bisa mencapai kepada hakikat Ilahiah.

Metafora kedua bulan- adalah simbol cahaya akal. Dengan akal yang dibimbing oleh petunjuk atau cahaya syariat seseorang dapat dekat pada kebenaran dan kebajikan. Dengan cahaya akal ini seseorang dapat mengungkap rahasia-rahasia Ilmu Allah, yang dapat ia buktikan dan saksikan lewat fenomena alam. Dan keadaan ini akan membawanya kepada keyakinan yang lebih jauh terhadap kebenaran, meskipun dengan cahaya ini seseorang belum juga sanggup mencapai makrifat hakiki akan Tuhan.

Matahari metafora ketiga- melambangkan cahaya Suci atau cahaya Al Haqq yang menerangi hati manusia, sehingga seseorang yang mengalami keadaan ini memperoleh limpahan atau pelekatan sifat-sifat Allah ke dalam dirinya. Lewat cahaya Suci ini seseorang mengalami penyingkapan hati dan mata batinnya menyaksikan supremasi Tuhan dalam kekuasaan dan ilmu-Nya. Akan tetapi pada gilirannya keadaan ini menunjukkan keberagaman (katsrah). Dalam cara yang sama, keberagaman dapat dilihat pada gagasan mengenai tempat bersandar dan yang bersandar, atau pada yang Ridha dan yang diridhai. Dan ini menunjukkan adanya jarak antara keberagaman dan tauhid (kesatuan).

Keadaan ini sebagaimana dinyatakan Nabi Ibrahim as. sendiri, Inikah Tuhanku? Pernyataan dalam bentuk pertanyaan ini muncul pada tiga waktu yang berbeda, suatu pertanyaan yang sebenarnya bertujuan untuk menyatakan pengingkaran. Maksudnya, seolah-olah Nabi Ibrahim as. berkata, Ini adalah sesuatu yang diciptakan, suka terbenam dan hilang, lalu pantaskah ia menjadi Tuhanku dan Tuhan sekalian alam? Tidak, demi Allah, ini tidaklah mungkin. Ini bukanlah Tuhanku dan Tuhan sekalian alam, tetapi ini semua perwujudan dari hakikat Tuhanku. Atau ia bisa juga mengatakan, Apakah dengan cahaya panca indera, cahaya akal, dan cahaya Suci (cahaya Al Haqq). aku akan jadi tahu Tuhanku? Tidak, demi Allah, ini tidaklah mungkin Bahkan kita takkan pernah bisa mengenal-Nya kecuali dengan melintasi dan melampaui tiga cahaya itu. Sebab tak mungkin mencapai makrifat hakiki akan dzat-Nya, kecuali dengan dzat-Nya.

Disebutkan Nabi saw. bersabda, Aku telah mengenal Tuhanku melalui Tuhanku. Perumpamaan seseorang yang berusaha mencapai makrifat Tuhan dengan menggunakan cahaya Suci adalah seperti orang menyaksikan matahari dengan cahaya matahari. Jelas bahwa yang disaksikannya benar-benar matahari dan cahayanya yang tersebar ke seluruh penjuru arah, sekalipun penyaksiannya masih membedakan antara penyaksi (cahaya matahari) dengan yang disaksikan (matahari itu sendiri) bukan penyaksian ke-esa-an murni akan Tuhan.

Makna mendalam yang ingin diungkapkan di sini adalah bahwa seperti halnya orang baru bisa melihat matahari dan cahayanya setelah ia menghubungkan diri dengan matahari berdasarkan kesucian dan cahaya- begitu pula, orang baru bisa menyaksikan Yang Maha Nyata setelah berupaya menjalin hubungan antara dirinya dengan Dia, dengan cara membebaskan diri dari selain-Nya dan membenarkan keagungan-Nya secara mutlak di atas semua ciptaannya.

Ketika Allah mengungkapkan diri-Nya (tajalli) atau dzat-Nya ke dalam hati seorang hamba, maka yang diungkapkan adalah esensi-Nya, yaitu berupa nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya bukan wujud-Nya yang mutlak. Sebab wujud-Nya yang mutlak sesungguhnya tidak bersifat atau tidak terlukiskan sama sekali. Dzat-Nya adalah Wujud Mutlak, yang ke-esa-an-Nya tak lain adalah dzat-Nya sendiri, sedangkan apapun selain wujud-Nya adalah ketiadaan mutlak. Tajalli dalam bentuk nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya harus dipahami sebagai keadaan dimana wujud-Nya memberi identitas atau memberi sifat kepada esensi-Nya. Sehingga lewat nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya itu Dia dapat disaksikan. Jadi Esensi menjadi tumpuan atau pijakan Wujud. Dengan kata lain, pengungkapan ke-esa-an Allah ke dalam hati seorang hamba, adalah pengungkapan diri Yang Maha Nyata dari kehadiran ke-esa-an dzat-Nya yang mutlak tanpa ada sifat atau lukisan apapun yang dapat melukiskannya- ke kehadiran ke-esa-an-Nya yang terlukiskan oleh sifat-sifat dan nama-nama-Nya sebagaimana Dia informasikan di dalam Al Quran dan Sunnah. Coba perhatikan dengan baik kalimat terakhir ini, karena dengan memahami ini akan memudahkan pemahaman kita selanjutnya.

Pengungkapan diri-Nya ini juga menandai munculnya sifat-sifat mengetahui dan menerima dari-Nya, sebab berbagai hakikat (di dalam ilmu-Nya) yang tersembunyi di balik ke-esa-an dzat-Nya yang mutlak, merupakan obyek pengetahuan-Nya, dan yang menerima pelimpahan wujud ke alam nyata (fenomenal) dimana hati seorang hamba mengalami penyingkapan (kasyf).

Gambaran keadaan ini dapat kita lihat dalam surat Al Arf [7] ayat 172,

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menjadikan keturunan Bani Adam dari tulang sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian atas diri (nafs) mereka, Bukankah Aku ini Rabb (Tuhan)-mu?. Mereka menjawab, Betul, kami menjadi saksi. Yang demikian supaya kamu tidak mengatakan di hari kiamat, Sesungguhnya kami lalai tentang hal ini.

Inilah keadaan dimana jiwa (nafs) menyaksikan kehadiran-Nya (Rabb), yang adalah bentuk-bentuk rasional dari nama-nama-Nya atau kehadiran ke-esa-an-Nya yang tersifati oleh nama-nama-Nya. Sebagaimana kita tahu kata rabb mengacu pada pengertian; pencipta, pengatur, pemelihara dan pendidik. Dengan demikian, hakikat-hakikat di dalam ilmu-Nya yang tadinya tersembunyi di balik ke-esa-an dzat-Nya yang mutlak (di alam non-eksistensi) kemudian aktual dan mewujud dalam alam fenomenal.

Namun demikian, sekali lagi, keadaan ini menunjukkan jiwa (nafs) yang menyaksikan lewat mata hati yang mengalami penyingkapan (kasyf), dan bukan kemusnahan (fana) di dalam-Nya. Begitu pula apa yang disaksikan adalah, kehadiran ke-esa-an-Nya dalam perwujudan-perwujudan yang beragam (sifat-sifat dan nama-nama-Nya), dan bukan kemanunggalan dan kemandirian dzat-Nya yang mutlak (hilangnya selubung-selubung kemegahan Ilahi dan kekuasan-Nya, atau yang dalam istilah Mulla Shadra disebut, Perbedaan Wujud kembali kepada persamaannya).

Semua yang ada di bumi ini akan binasa. Dan tetap kekal wajah Tuhan-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (Surat 55 : 26-27)

Kemusnahan (fana) di dalam-Nya, diisyaratkan di dalam surat Al Arf [7] ayat 143, yang secara metaforis diungkapkan dengan pecahnya bukit dan pingsannya Nabi Musa as.

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan, dan Tuhan berkata-kata dengannya, Musa berkata, Ya Tuhanku, perlihatkanlah (diri-Mu). Tuhan berfirman, Kamu tidak sanggup melihat-Ku, tetapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya, maka nanti kamu akan dapat melihat-Ku. Maka setelah Tuhan memperlihatkan (kebesaran) diri-Nya di bukit itu, Allah menjadikannya pecah dan Musa jatuh pingsan. Setelah Musa sadar kembali, dia berkata, Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku orang yang pertama-tama beriman.

Ketika Allah memperlihatkan kebesaran-Nya di bukit itu, ini mengungkapkan kehadiran ke-esa-an-Nya dalam sifat-sifat dan nama-nama-Nya (perwujudan yang beragam) yang dapat disaksikan oleh hati yang mengalami penyingkapan. Dan saat bukit itu pecah (Allah yang menjadikannya pecah), itu menunjukkan musnahnya selubung kebesaran-Nya, kembalinya keragaman kepada ketunggalan dan kemandirian dzat-Nya yang tak bersifat atau tak terlukiskan. Dzat-Nya adalah Wujud Mutlak, dan ke-esa-an-Nya tak lain adalah dzat-Nya itu sendiri, sedang selain wujud-Nya hanyalah ketiadaan. Bersamaan dengan itu pingsanlah Nabi Musa as. Pingsannya Nabi Musa adalah simbol dari kemusnahan jiwa, bukan kemusnahan aktual melainkan kemusnahan dalam makrifat. Sirna di dalam dzat-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis Nabi saw. : Matilah kamu sebelum datang kematian-mu. Dan inilah yang dimaksud dengan fana di dalam diri-Nya.

Dan ketika Musa as. kembali terjaga, setelah mengalami keadaan di atas, sadarlah ia bahwa apa yang selama ini ia pahami tentang hakikat Allah, apa yang sebelum ini ada dalam pikirannya tentang wujud-Nya yang mutlak, bukanlah hakikat dzat-Nya yang sesungguhnya. Mahasuci Dia dari segala apa yang disifatkan dan dilukiskan, karena dzat-Nya tidak dapat dilukiskan, Dia bukan ini, bukan itu, bukan apa pun yang bisa dibayangkan.

Fana di dalam dzat-Nya yang Maha Mutlak, adalah maqam penyingkapan Esensi Hakiki, penyingkapan seseorang dari selubung-selubung kemegahan dan kekuasaan-Nya, dan hilangnya segala selubung selain Tuhan. Mereka yang berada pada maqam ini adalah mereka yang melampaui penyaksikan kehadiran Allah dalam perwujudan-perwujudan beragam. Tidak ada sesuatupun kecuali Dia. Semua adalah Dia, karena Dia, dari Dia, dan kepada-Nya. Tanda kemusnahan di dalam diri-Nya, adalah kukuhnya seseorang di dalam maqam istiqomah (keteguhan) dan maqam tamkn (keajegan), sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya,

Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang-orang yang telah taubat bersama kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Surat Huud [11] : 112)

Ada perbedaan antara manusia yang terus mengada dengan dirinya sendiri dengan manusia yang telah luluh di dalam diri Tuhannya.

Akhirnya, sampailah bagi saya untuk menghentikan pembahasan mengenai keadaan fana ini, dan saya berharap semoga Allah membukakan hati dan pikiran kita semua untuk dapat menerima limpahan ilmu-Nya yang bermanfaat. Allah Maha Mengetahui dan Mahabijaksana. Dialah yang mengatakan kebenaran dan menuntun ke jalan yang benar. (Laut itu tetaplah laut yang sebelumnya; kejadian hari ini hanyalah ombak dan gelombang air)

Wednesday, January 14, 2009

Bertemu Dengan Sunan Melayu

Kira-kira 2 minggu yg lepas, aku mendapat panggilan dari seorang teman aku Zaini……” Dato’ malam ni kul 10.00 tunggu di Era ( Restoran Era port kami lepak ) kita pi jumpa Sunan.” Tanpa banyak soal……….aku pon kata ok, tapi dalam hati aku tertanya-tanya siapakah gerangan sunan tersebut dan di manakah ianya tinggal………namun persolan tersebut aku biarkan ianya berlalu begitu saja…………kalau difikirkan pon bukan aku akan dapat jawapannya……….so tunggu ajalah malam nanti.

Seperti yang dijanjikan kami pon berkumpul di Era………Aku yg paling awal sampai ( kul 9.50 dah tercegat d Era ), tepat kul 10.00 mlm Ustz pon sampai sambil tersenyum menampakkan giginya, 5 minit kemudian Din lak sampai dan yg akhir sampai adalah Zaini. Bila semua dah ada, kami pon bertolak Kami pergi dgn kereta Zaini ………..dalam kereta aku bertanya kita nak pi belah mana malam ni………..lalu Zaini menjawab, “ kita p belah Pantai Remis , hang ikut aja lah “………mendengar jawapan dari Zaini maka aku pon terdiam dan tidak berkata-kata lagi sambil terus melayan fikiran ku yg entah kemana melayangnya.

Lebih kurang 45 minit melayan fikiran…………tiba-tiba Zaini memperlahankan keretanya, lalu masuk di satu jalan kg. yg dikelilingi oleh pokok kelapa sawit…………lebih kurang 10 minit melalui ladang kelapa sawit…………kami pon sampai kedestinasinya. Kami pon keluar dari kereta, apa yg aku lihat adalah panorama sebuah teratak kampong di dalam kesamaran lampu yg terpancar dari teratak tersebut……keadaan sekeliling amat sunyi…..sekali sekala terdengar bunyi cengkerek dan burung kuang maklum la dah dekat kul 12 tgh. mlm…….Ustz. memberi salam dan kemudian diikuti pulak oleh Zaini………aku dan Din hanya mengikut je……sambil tak abis-abis dok memerhatikan keadaan sekeliling……..aku dapat rasakan keadaan dan suasana yg tenteram dan damai sekali.

Dalam aku mengelamun tiba-tiba aku terdengar “ Waalaikumussalam…..”….suara orang menjawab salam dengan nada yg lembut………..lalu aku perhatikan kearah bunyi suara tersebut dan aku lihat seorg tua separuh umur…….berbadan kecil tapi agak kemas……keluar dengan senyum sambil menyambut salam kami. Lalu org tua tersebut mempelawa kami duduk di pangkin depan umah dia……..pangkin yg terletak di bawah pokok mangga besar………..terasa nyaman aja……….bila ditiup bayu malam.

Org. tua itu membetulkan silanya sambil menanya akan tujuan kedatangan kami, dari perbualan yg aku dengar diantara Zaini, Ustz dan org tua tersebut, baru aku tahu yg Zaini sudah lama mengenali org tua tersebut, sedangkan aku dan Din, baru pertama kali datang. Maka aku biarkan mereka meneruskan perbualan mereka, aku lebih senang mendiamkan diri dan sekali sekala baru aku campor…………( nanti org kata sombong lak………dan kalau terlebih cakap org kata nak memandai-2 lak…….so aku ambil keputusan tengok dan dengar aja……)………

Dalam rancak-2 bersembang tiba-2 org tua tersebut mendiamkan diri…...lalu terus mengaji ( membaca ayat-2 suci Al Quran )……….lebih kurang 10 minit dia mengaji……….tiba-2 org tua tersebut memberi salam dgn suara yg garau……org tua tersebut telah bertukar perwatakan dgn membahasakan dirinya Raden Syarif Hidayatullah ( Wali Songo)……aku mula tersenyum dan dalam hati berkata-2…..” Ini Sunan Melayu ni………sbb dia bercakap dalam bahasa melayu utara , tak ada pelat jawa lansung “……….tersenyum ajalah………nak ketawa kuat-2 karang dikatakan tak hormat org tua-2 lak………..tapi dlm hati………..” mlm ni kita dah kena kelentong idup-2………hehehe”…………Sepanjang Sunan Melayu berada di situ tak lekang dgn nasihat berbaur agamanya…………..aku dengar aja la malas nak layan dah……………..

Di pendekan cerita hampir satu jam setengah kami disitu, maka kami pon mintak diri, tapi sebelum tu sempat juga la ditunjukkan batu cahaya bulan yang nak di maharkan dan beberapa barang lain…….” dlm hati aku berkata ini bukan batu cahaya bulan tapi batu serai “……tapi kata-2 itu tak terucap di bibir aku yg terucap cahaya bulan pun cahaya bulan la………..hehehe

Sebelum nak balik aku sempat la bersalam dgn org tua tersebut dan dlm salam tu aku hulurkan sedikit sedekah sebagai tanda terima kasih aku kerana kelentong aku dan kawan-2 aku……..dan mungkin ramai lagi yg sebelum aku dan selepas aku……………….

Donea, donea……………….hehehee